Sabtu, 11 Januari 2014

Makalah Analisa Pendekatan Determinisme Linguistik Terhadap Bahasa Gaul

Posting Sebelumnya : Makalah Analisis Bahasa Alay Pada Pengguna Facebook

BAB I
PENDAHULUAN

Secara sosiolinguistis, masyarakat bahasa selalu bersifat heterogen. Heterogenitas ini dapat bersumber dari berbagai faktor, seperti individual, regional, maupun sosial (Wijana, 2010: 7). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 2010: 2).

Charles Morris (1946, dalam Chaer dan Agustina, 2010: 3) dalam bukunya Sign, Language and Behavior yang membicarakan bahasa sebagai sistem lambang, membedakan adanya tiga macam kajian bahasa berkenaan dengan fokus perhatian yang diberikan. Kajian-kajian tersebut yaitu: (1) jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan maknanya disebut semantik, (2) jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang disebut sintaktik, dan (3) jika perhatian difokuskan pada hubungan antara lambang dengan penuturnya disebut pragmatik. Ilmu sosiolinguistik masuk ke jenis kajian pragmatik.

Sosiolinguistik juga lazim didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana, dalam Chaer dan Agustina, 2010: 3). Di Indonesia, salah satu bahasa yang masuk dalam variasi atau ragam bahasa adalah bahasa gaul remaja2 atau juga disebut slang. Bahasa gaul remaja masuk ke dalam ragam bahasa sosiolek yaitu ragam bahasa yang dipengaruhi faktor sosial, terutama faktor umur. Dalam hal ini, tentu peranan faktor lainnya harus juga diakui tidak kalah dominannya di dalam menentukan eksistensinya. Faktor-faktor itu adalah ketidakformalan situasi pertuturan, emosi penutur, derajat keakraban para pemakainya, tujuan pertuturan, dan sebagainya (Wijana, 2010:7).

Dalam penggunaan istilah “bahasa gaul remaja”, penulis sependapat dengan Wijana. Hal ini dikarenakan, menurut penulis, walaupun bahasa gaul juga sering digunakan oleh penutur bukan remaja, namun kebanyakan para penutur bahasa gaul adalah mereka yang tergolong usia remaja. Para penutur bukan remaja biasanya hanya memakai sedikit kosa kata bahasa gaul, sedangkan penutur remaja adalah penutur yang memang memiliki bahasa tersebut. Akan tetapi, walapun merujuk pada bahsa gaul yang banyak digunakan oleh kaum remaja, dalam tulisan ini akan ditulis “bahasa gaul” saja, bukan “bahasa gaul remaja”). Perkembangan bahasa gaul biasanya berawal dari remaja, terutama remaja Jakarta (yang dalam bahasa gaul sering disebut dengan AGJ, anak gaul Jakarta). Penyebaran bahasa gaul ke luar Jakarta terjadi dengan didukung oleh media, terutama media televisi dalam program-program dan iklannya. Jika dilihat dari program televisi yang sering menjadi media penyebaran bahasa gaul, misalnya sinetron, maka sinetron yang banyak menggunakan bahasa gaul adalah sinetron remaja di mana dialog-dialog bahasa gaul banyak dipakai oleh pemeran remaja.

Ragam bahasa diregulasi oleh sosial (determinisme sosial) dan juga meregulasi sosial (determinisme linguistik). Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan struktur sosial. Sedangkan sebaliknya, menurut determinisme linguistik, ragam bahasa mempengaruhi sosial, misalnya mempengaruhi struktur sosial. Dalam tulisan ini, penulis akan meneliti menggunakan pendekatan determinisme linguistik terhadap bahasa gaul. Asumsinya adalah bahwa penggunaan bahasa gaul dapat membentuk struktur sosial bagi para penggunanya, yaitu bahwa mereka yang menggunakan bahasa gaul akan secara otomatis tergolong dalam kelompok anak gaul.

 

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bahasa, Ragam Bahasa dan Sistem Linguistik

Ferdinand de Saussure (1916, dalam Chaer dan Agustina 2010: 30-31) membedakan antara yang disebut langage, langue, parole. Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Perancis itu lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa. Dalam bahasa Perancis, istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak. Barangkali istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa. Istilah kedua dari Saussure yakni langue dimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, yang barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Nita belajar bahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage yang bersifat abstrak, langue juga bersifat abstrak.

Berbeda dengan langage dan language, maka parole bersifat konkret karena parole itu merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole di sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada dan ken”. Jadi, parole itu tidak bersifat abstrak, melainkan nyata ada dan dapat diamati secara empiris. Perlu dicatat, yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Hal ini dikarenakan parole dapat diobservasi secara empiris. Bahasa merupakan sistem simbol yang digunakan oleh komunikator untuk mengkonstruk dan mentransfer informasi (Findlay, 1998: 103). Sedangkan de Saussure menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya (1916, dalam Chaer dan Agustina 2010: 2).

Secara formal, bahasa memiliki sistem kode yang terdiri atas tiga level yaitu (1) content atau semantic, merupakan konten atau makna kontekstual dalam bahasa; (2) form atau lexicogrammar, merupakan aturan/pola logis dan koheren kata menjadi kalimat dalam bahasa atau disebut juga sintaksis; (3) expression atau phonology merupakan pola pengkodean (suara atau simbol) yang membentuk bahasa (Dictionary of Media Studies, 2006: 173; Findlay, 1998: 103; Halliday, 1993: 187). Ahli antropologi dan ahli bahasa sudah sejak lama bertanya-tanya tentang kondisi evolusioner macam apa yang telah menstimulasi kemunculan bahasa manusia. Beraneka teori dihasilkan namun tidak ada satupun yang menghasilkan penjelasan defenitif. Kapan dan dimana bahasa manusia pertama kali berkembang pun tidak dapat dipastikan (Findlay, 1998: 138-141). Asal usul bahasa pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bahasa berasal dari satu induk bahasa, ada pula yang mengatakan bahwa berasal dari beberapa bahasa.

Menurut studi linguistik, anggapan bahwa bahasa berasal dari satu sumber disebut sebagai pendapat yang mengikuti teori monogenesis. Itu lawan dari teori poligenesis yang berpendapat bahwa ada lebih dari satu sumber bahasa induk. Entah apa sebabnya, banyak orang yang cenderung mempercayai teori monogenesis. Mungkin karena tingkat religiusitas yang tinggi dari nenek moyang terdahulu, terutama dalam mempercayai kisah Adam dan Hawa. Teori monogenesis mengarahkan banyak orang untuk membuat pembuktian dan penelitian tentang asal-usul bahasa dari satu sumber. Karena itulah, penelitian cenderung dipusatkan untuk mencari bukti persamaan ciri linguistik dari elemen milik bahasa yang berbeda-beda (Purwoko et al, 2004: 6). Haugen (1974, dalam Purwoko et al: 2004) mengajukan hipotesis bahwa bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis terpisah dari kelompok induk. Sebaliknya, selama para penutur tinggal di suatu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama.

Dengan kata lain, Haugen mengungkapkan bahwa faktor perpindahan penduduk mempengaruhi kekacauan bahasa, bukan sebaliknya. Apabila ada sebuah komunitas linguistik terpecah belah dan para penutur berpencar ke berbagai daerah yang terpisah, mereka akan menciptakan dialek regional yang berbeda pula. Apabila jurang perbedaan semakin lebar maka lambat laun dialek mereka berubah menjadi bahasa yang berbeda dari bahasa induk. Perbedaan inilah yang disebut dengan ragam bahasa. Ragam bahasa adalah ketika terdapat perbedaan dalam berbahasa baik itu pelafalan, bentuk grammar, maupun makna (Findlay, 1998: 117). Terdapat dua jenis variasi atau ragam bahasa yaitu: dialek (ragam berdasar pengguna), dan register (ragam berdasarkan kegunaan). Konsep kerangka kerja yang berpandangan bahwa bahasa memiliki ragam merupakan konsep yang memandang bahasa sebagai institusi (Halliday, 1993: 183). Dialek merupakan ragam bahasa berdasarkan referensi si penutur: dialek kita berbicara merupakan fungsi dari siapa kita. Dialek adalah apa yang kita bicarakan (kebiasaan) menunjukkan siapa kita (sosio-region, asal usul), dan menunjukkan keberagaman struktur sosial atau pola hirarki sosial. Jadi, secara prinsip, dialek merupakan cara-cara yang berbeda untuk menyebutkan hal yang sama (Halliday, 1993: 35, 157, 183). Register merupakan ragam bahasa berdasarkan konteks sosial, yaitu apa yang sedang kita lakukan dan dalam situasi bagaimana saat kita berbicara. Register juga menunjukkan keberagaman proses sosial – misalnya pekerjaan (Halliday, 1993: 35, 157, 185).

Para ahli menyebutkan bahwa ada lima faktor penting yang menyebabkan pembentukan sebuah dialek atau bahasa baru yang diturunkan dari sebuah bahasa sumber milik komunitas yang sama. Kelima faktor tersebut bersifat (1) regional, (2) sosial, (3) historis, (4) profesional, dan (5) kontak bahasa (Purwoko et al, 2004:10-18). Faktor regional membuat sebuah bahasa berubah karena para penutur mengucapkan varietas yang berbeda tergantung pada lokasi atau tempat mereka bermukim. Contohnya dapat diambil dari realitas linguistik bahasa Jawa, salah satunya bahasa yang dipakai orang di pegunungan Tengger berbeda dari bahasa Banyuwangi. Perbedaan ini bersifat kedaerahan. Karena itulah ragam bahasa ini disebut dialek regional. Faktor sosial menunjukkan kedudukan sosial penutur bahasa.

Sebagai contoh, dalam bukunya The Religion of Java (1960, dalam Purwoko et al: 2004), Geertz membahas bahasa Jawa dalam satu bab “Linguistic Etiquette”. Dalam bab itu, Geertz berpendapat bahwa perbedaan penggunaan styleme, yang terdiri atas krama, madya, ngoko, berkaitan erat dengan kedudukan sosial penutur dan bahkan berhubungan erat pula dengan gaya hidup religiusitas para penutur, yang ia bagi menjadi priayi santri, dan abangan. Dalam tulisan lain ragam bahasa Jawa disebutkan ada ngoko, krama, krama inggil (Anderson, 1996: 279). Ngoko merupakan bahasa Jawa kasar, krama untuk alus (halus), krama inggil untuk sangat h\alus. Penggunaan ragam bahasa ini terkait dengan hirarki sosial yang terdapat dalam masyarakat Jawa. Penggunaan bahasa alus diperuntukkan bagi lawan bicara yang dihormati, lebih tua atau kedudukannya lebih tinggi, sedangkan bahasa kasar untuk lawan bicara yang sebaya, sederajat atau lebih rendah. Dalam hal ini berarti terdapat dimensi hubungan yang hadir dalam pesan yang disampaikan melalui bahasa. Ambil contoh dari pesan yang berarti “Aku mau makan”, yaitu “Aku arep mangan” untuk ngoko dan “Kula bade neda” untuk krama. Arti keduanya sama, namun dimensi hubungan si pembicara dengan lawan bicara berbeda. Pada kalimat “Aku arep mangan” hanya bisa dipakai antara kawan dan antara mereka yang sederajat dalam pergaulan, atau dipakai oleh seseorang yang berkedudukan lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Sedangkan kalimat “Kula bade neda” dipakai bagi orang yang baru dikenal atau yang berkedudukan lebih tinggi (Anderson, 1996: 279).

Pendapat Geertz ini mirip dengan hasil penelitian Labov (1996, dalam Purwoko et al: 2004; Halliday: 1993) tentang penggunaan bahasa Inggris oleh penduduk di salah satu kota besar di Amerika Serikat, yaitu New York. Isu yang dikemukakan pun sama yaitu relevansi antara penggunaan bahasa dan kedudukan penutur. Disebutkan Labov bahwa dialek komunitas elit berbeda dari rakyat jelata. Dalam bahasa Indonesia juga berlaku hirarki linguistik seperti di atas. Misalnya penggunaan bahasa pergaulan dimana kita bisa saja berbicara menggunakan kata gue sebagai penganti saya kepada teman sebaya, namun hal itu tidak mungkin kita lakukan kepada Rektor Universitas tempat kita kuliah. Ragam bahasa yang berkorelasi dengan kedudukan sosial para penutur disebut dialek sosial. Akan tetapi Geertz agak ragu dan menyebutnya styleme, hal ini karena Geertz adalah seorang cultural anthropologist. Dalam studi linguistik, terminologi itu memang asing dan tidak pernah dipakai orang, melainkan sering disebut fenomena dialek sosial (Purwoko et al, 2004:10-18). Dalam pengertian lain, dialek sosial merupakan dialek yang diasosiasikan dengan kelompok sosial dan sebagai simbol untuk kelompok sosial tertentu (Halliday, 1993: 159, 184). Misalnya pada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dalam masyarakat tersebut, terdapat pembagian yang cukup tegar yaitu: golongan peranakan kelas atas menggunakan bahasa Melayu Jawa Timur (dengan berbagai ragamnya tergantung keformalan pertuturannya) di keluarga dan di antara karibnya, di satu pihak, dan golongan; sedangkan golongan peranakan kelas bawah serta golongan totok menggunakan bahasa Jawa di keluarga dan di kalangan karibnya. Istilah peranakan merujuk pada mereka yang sudah lebih berakulturasi pada masyarakat pribumi setempat, sedangkan istilah totok merujuk bagi mereka yang kurang berakulturasi (Oetomo, 1996: 201). Faktor historis memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa tersebut dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa semacam ini disebut dialek temporal atau dialek historis. Dapat diambil contoh dari bahasa Jawa yang dibedakan menjadi bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern.  Faktor profesi seseorang juga dapat mempengaruhi ragam bahasa. Perbedaan ragam profesi terletak pada pilihan kata atau terminologi.

Pada umumnya ragam bahasa ini dapat disebut pula menggunakan istilah register. Untuk ragam register, berlaku struktur pengetahuan. Misalnya penggunaan kata H2O sebagai pengganti air dalam konteks pembicaraan tertentu. Mereka yang tidak pernah belajar ilmu kimia bisa jadi tidak mengetahui makna H2O yang dimaksud dalam pembicaraan tersebut. Penggunaan kata-kata khusus pada ragam register juga menimbulkan kesan intelek. Akan tetapi kata khusus tersebut tidak akan dipakai dalam konteks pembicaraan biasa, misalnya kita tidak akan mengatakan “aku mau minum H2O”, melainkan “aku mau minum air”. Faktor kontak bahasa juga sangat mempengaruhi keterbentukan komunitas linguistik baru. Apabila ada dua bahasa atau lebih hidup berdampingan di satu tempat maka akan terjadi semacam campuran penggunaan setiap bahasa itu. Menurut pendapat Bloomfield (1984, dalam Purwoko et al: 2004), biasanya bahasa yang lemah atau terdominasi cenderung lebih banyak terpengaruh oleh bahasa yang lebih kuat. Kemudian situasi kebahasaan akan menghasilkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap “baik” dan “kurang baik”. Keadaan semacam ini disebut oleh Ferguson sebagai diglosia (1959, dalam Purwoko et al: 2004; Findlay, 1998). Sebaliknya apabila dua bahasa yang hidup bersama dalam suatu komunitas mempunyai otoritas dan kekuatan yang seimbang disebut bilingual atau multilingual (jika lebih dari dua bahasa). Selain dipahami sebagai institusi, bahasa juga dipahami sebagai sistem. Dalam hal ini disebut sebagai sistem linguistik. Sistem linguistik adalah sistem dari variasi. Inti dari pemahaman sistem linguistik ini yaitu bahwa variasi atau ragam dalam bahasa memiliki fungsi secara sosial. Sistem linguistik menunjukkan hubungan antara konteks sosial dengan teks. Inilah yang memungkinkan seseorang mampu memprediksi makna yang dipertukarkan di berbagai situasi yang ia temui. Ragam bahasa, selain merupakan properti dari bahasa sebagai institusi, juga merupakan properti dari sistem. Sistem linguistik sendiri merupakan produk dari sistem sosial. Ini menjelaskan bagaimana ragam bahasa sebenarnya memiliki makna terkait dengan konteks sosial (Halliday, 1993: 155-156, 186-189).

Wardaugh (1972, dalam Chaer dan Agustina, 2010: 15) mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan. Fungsi ini sebenarnya telah mencakup lima fungsi dasar bahasa, yang menurut Kinneavy disebut expression (sebagai simbol ekspresi), information (sebagai cara menyampaikan informasi), exploration (untuk eksplorasi), persuasion (untuk mempengaruhi), dan entertainment (dan untuk hiburan). Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek, yaitu aspek linguistik dan aspek nonlinguistik atau paralinguistik. Kedua aspek ini “bekerja sama” dalam membangun komunikasi bahasa itu. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, ide, atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup (1) kualitas ujaran yaitu pola ujaran seseorang, seperti falseto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya; (2) unsur supra-segmental, yaitu tekanan (stres), nada (pitch), dan intonasi; (3) jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya; (4) rabaan, yakni berkenaan dengan indera perasa pada kulit (Chaer dan Agustina, 2010: 21-22).

 

2.2 Masyarakat Tutur (Speech Community)

Istilah masyarakat tutur atau speech community merujuk pada sebuah konstruk yang teridealisasi dan merupakan gabungan dari tiga konsep berbeda yaitu: kelompok sosial, jaringan komunikasi, dan populasi yang seragam secara bahasa. Jadi dapat diartikan bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang yang terhubung dalam organisasi sosial, saling bicara satu sama lain, dan berbicara dalam bahasa yang sama (Gumperz dalam Halliday, 1993: 154). Dalam konteks pedesaan, gagasan mengenai masyarakat tutur ini masuk diakal. Namun tidak dalam konteks perkotaan. Kota merupakan tempat untuk berbicara, dimana para penduduknya banyak melakukan komunikasi satu sama lain. Melalui pembicaraannya, para penduduk selalu menegaskan ulang dan membentuk ulang konsep-konsep dasar dimana masyarakat urban didefenisikan. Jika kita mendengarkan pembicaraan mereka maka kita dapat melihat referensi yang sama tentang karakteristik kehidupan perkotaan. Dari sinilah dapat disebutkan bahwa kota merupakan tempat yang dibangun dan diselenggarakan bersama-sama oleh bahasa.

Dalam konteks masyarakat urban, model klasik masyarakat tutur sudah tidak tepat untuk dipakai lagi. Urban speech community (masyarakat tutur urban) merupakan unit yang heterogen, dimana terdapat keberagaman bukan hanya satu individu dengan individu lain, tetapi juga di dalam individu itu sendiri. Disinilah kita menemukan bahwa fakta dasar mengenai urban speech (tutur urban) yaitu bahasa yang beragam. Dapat dikatakan bahwa sistem linguistik merupakan sistem dari keberagaman dimana bahasa dilihat sebagai sistem dengan tingkat fleksibilitas tinggi (Halliday, 1993:155). Kota tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur karena tidak semua penduduknya berbicara satu sama lain. Mereka juga tidak berbicara dalam bahasa yang sama persis; dan makna yang mereka maksudkan juga tidak sama. Tapi bagaimanapun, kota merupakan lingkungan dimana makna dipertukarkan (Halliday, 1993: 163). Masyarakat tutur bukan hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Untuk dapat disebut suatu masyarakat tutur, adalah adanya perasaan di antara penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Djoko Kentjono, dalam Chaer dan Agustina 2010: 36).

 

2.3 Bahasa dan Struktur Sosial: Analisa Pendekatan Determinisme  Linguistik
terhadap Bahasa Gaul AGJ (Anak Gaul Jakarta)

Struktur sosial berasal dari kata struktur dan sosial. Struktur berasal dari bahasa Latin struktura yang berarti “rangka” atau “kerangka bangunan”, istilah yang digunakan dalam bidang arsitektur. Istilah struktur pertama kali digunakan oleh Durkheim pada tahun 1895 dalam Les Règles de la methode Sociologique (Yusuf, 2001: 396). Sedangkan sosial berarti berkaitan dengan masyarakat.

Jika menggunakan pendekatan determinasi sosial, maka ragam bahasa diregulasi oleh sosial. Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan struktur sosial. Misalnya ketika bahasa dipengaruhi konteks sosial, dapat dilihat bahwa terdapat high variants dan low variants. High variants digunakan dalam konteks formal sebagai careful speech. Jika di Indonesia, maka dalam konteks formal bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku. Sedangkan low variants digunakan dalam konteks informal sebagai casual speech, yaitu dipakainya bahasa pergaulan sehari-hari dan tidak terlalu baku, misalnya bahasa gaul anak gaul Jakarta (yang selanjutnya disingkat AGJ). Contoh lain bahasa dipengaruhi oleh struktur sosial adalah ketika seorang remaja berbicara kepada gurunya maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku, berbeda ketika ia berbicara kepada teman sebayanya dengan menggunakan bahasa gaul. Akan tetapi tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, menurut pendekatan determinisme linguistik, bahasa sebenarnya juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial. Nilai-nilai yang ditunjukkan melalui ragam bahasa yang dipakai adalah nilai-nilai sosial. Ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial (Halliday, 1993: 156).

Dalam hal ini, ragam bahasa tidak semata-mata bersifat sosial (mengandung nilai sosial, dan dipengaruhi konteks sosial), melainkan ragam bahasa yang dipakai juga menunjukkan ekspresi simbolik dari struktur sosial atau bisa disebut membentuk struktur sosial. Membentuk struktur sosial dalam hal ini adalah bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh seseorang akan menempatkan ia pada suatu struktur tertentu dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu. Dalam penggunaan bahasa gaul, ketika seseorang menggunakan bahasa gaul tersebut, maka ia akan terstruktur menjadi bagian dari kelompok AGJ. Bagaimana bisa disebutkan bahwa bahasa gaul membentuk struktur AGJ bagi para penuturnya? Hal ini dikarenakan ketika seseorang berbicara menggunakan bahasa gaul kepada temannya, maka secara otomatis ia dan temannya tersebut telah menggolongkan diri mereka sebagai AGJ yang berbeda dengan kelompok remaja gaul lainnya.

Dikatakan berbeda dengan kelompok remaja lainnya karena tidak semua orang memahami setiap kosa kata yang dipakai dalam bahasa gaul AGJ, sehingga bagi mereka yang tidak mengerti bahasa tersebut, akan digolongkan sebagai kelompok di luar kelompok AGJ. Pembedaan ini terjadi akibat ketidakpahaman akan bahasa gaul dan ketidakpahaman ini terjadi karena fungsi komunikatif bahasa gaul hanya akan berlaku bagi masyarakat tutur bahasa gaul yaitu pada kelompok AGJ saja. Adapun menurut Wijana (2010: 113-119), terdapat enam fungsi komunikatif bahasa gaul, yaitu:

  1. Fungsi informatif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul dimanfaatkan untuk menginformasikan sesuatu kepada lawan bicaranya. Contohnya yaitu pada kalimat “Itu bukan rambutnya sendiri, dia itu Buchery” (Buchery artinya bule ngecet sendiri).
  2. Fungsi direktif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk memaksa, menganjurkan, atau menyarankan lawan tuturnya untuk melakukan. Contohnya yaitu pada kalimat “Hei, pada cabut yok!” (artinya “mari kita pergi”).
  3. Fungsi ekspresif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk mengungkapkan berbagai perasaan. Contohnya yaitu pada kalimat “Amrosy, nggak sengaja” (artinya “maaf, saya tidak sengaja).
  4. Fungsi komisif, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk membuat janji atau sumpah. Contohnya yaitu pada kalimat “Suwer tak kewer-kewer” (artinya “sumpah”).
  5. Fungsi fatis, yaitu fungsi di mana bahasa gaul digunakan untuk menjalin atau mengakhiri kontak/percakapan dengan lawan bicaranya. Contohnya yaitu pada kalimat “Santi Suntoro” (artinya “sampai nanti see you tomorrow”).
  6. Fungsi poetik, yaitu fungsi ketika bahasa gaul digunakan untuk membenuk tuturan yang indah, di mana secara fonologis membentuk ritme antara ekspresi dengan arti. Contohnya yaitu pada kalimat “Kolang-kaling dalam gelas” (artinya “calling-calling nggak jelas”).

Tentu saja masih banyak fungsi komunikatif lain disamping keenam fungsi di atas, seperti merahasiakan, mengakrabkan, mengejek, melucu, dan sebagainya (Wijana, 2010: 113-119). Interpretasi nilai-nilai sosial yang ada dalam ragam bahasa oleh masing-masing kelompok sosial tidaklah sama karena nilai-nilai yang ada pada masing-masing kelompok sosial juga tidaklah sama. Bagi suatu kelompok, ragam bahasa yang digunakan mungkin merupakan bentuk bahasa yang memiliki prestise, namun bagi kelompok lain bisa jadi merupakan hal yang “konyol” (Halliday, 1993: 156). Misalnya bagi kelompok Alay, bahasa Alay merupakan bahasa yang mereka anggap gaul. Sedangkan bagi AGJ (Anak Gaul Jakarta), bahasa Alay adalah bahasa kampungan. Bahasa gaul bagi AGJ adalah bahasa slang yang biasa dipakai oleh remaja-remaja Jakarta. Determinisme liguistik merupakan asumsi yang menyebutkan bahwa bahasa yang seseorang pelajari dan kuasai (melalui struktur bahasa tersebut) akan membentuk kecenderungan orang tersebut dalam memandang dan memahami dunia (Dictionary of Media Studies, 2006: 133; Findlay, 1998: 46).

Inti dari gagasan determinisme linguistik ini adalah bahwa bahasa akan menentukan keberulangan tingkah laku dan karakter bawaan serta menentukan pola pembentukan persepsi dari si penutur bahasa. Sehingga bahasa yang seseorang pelajari akan menstrukturasi dan mengorganisasi bagaimana orang tersebut melakukan konseptualisasi terhadap dunia luar. Gagasan ini juga seringkali disebut hipotesis Sapir-Whorf (Sapir dan Whorf adalah nama ahli bahasa terkenal). Pendekatan ini dapat dipakai untuk menjelaskan kenapa linguistik membentuk relasi sosial dan budaya. Bahasa membentuk relasi sosial dapat dipahami bahwa penggunaan bahasa tertentu akan membentuk atmosfer psikologis tertentu yang dapat menentukan jenis relasi sosial seperti apa yang akan berlangsung di antara para penutur. Misalnya penggunaan bahasa gaul di antara para penutur akan membentuk relasi sosial yang akrab, sedangkan penggunaan bahasa Indonesia yang baku akan membentuk relasi sosial yang formal dan tidak intim. Mengenai pembentukan budaya, pendekatan determinisme linguistik ini menunjukkan hubungan antara bahasa dengan budaya di mana bahasa merupakan kendaraan utama dalam mempelajari budaya.

Para antropologis menemukan bahwa logika kultural (pengetahuan dan aturan tingkah laku budaya) pada kelompok tertentu melibatkan bahasa yang mereka pelajari (Findlay, 1998: 109). Hubungan bahasa dengan budaya ini ditunjukkan melalui hipotesis bahwa budaya (yang telah dipelajari seseorang) di-encode atau disampaikan secara simbolik ke dalam bahasa; sebagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan melalui bahasa, ia juga mengembangkan pandangan tertentu atas realitas. Dengan kata lain, pandangan seseorang terhadap realitas sosial dikonstruksi oleh bahasa. Melalui ragam dialek, seseorang belajar manafsirkan pola hirarki sosial dalam masyarakat. Sedangkan melalui ragam register, seseorang mendapat wawasan mengenai struktur pengetahuan (Halliday, 1993: 191).

Asumsi lain dari teori ini adalah bahwa perbedaan struktur bahasa akan mempengaruhi perbedaan orang-orang dalam memandang dunia. Contohnya adalah orang yang menguasai dua bahasa seringkali mencampur-campur bahasanya untuk menemukan bahasa mana yang paling cocok untuk mengekspresikan apa yang ia pikirkan atau rasakan. Hal ini juga terjadi pada bahasa gaul yang banyak memakai kosa kata bahasa Inggris dalam kalimat-kalimatnya. Hubungan antara bahasa dan budaya tidak serta merta merujuk pada asumsi bahwa bahasa menentukan pandangan seseorang terhadap realitas (ini kemudian menjadi kritik atas hipotesis Sapir-Whorf). Hubungan antara bahasa dan budaya juga dapat dijelaskan dalam asumsi bahwa bahasa sebenarnya merupakan cermin atau refleksi dari pola budaya dalam masyarakat.

Gagasan ini disebut oleh Hickerson sebagai cultural emphasis (Findlay, 1998: 110). Istilah cultural emphasis merujuk pada pola bahasa yang merefleksikan budaya dalam masyarakat. Misalnya dalam percakapan berbahasa Inggris kita menemukan frase metafor “waktu adalah uang”, dan di Sudan frase yang dipakai dalam bahasa Nuer adalah “jangan membuang waktu mengurusi ternak orang lain”. Inti dari frase ini sebenarnya sama yaitu jangan membuang waktu untuk melakukan kegiatan yang tidak menghasilkan atau percuma. Penggunaan kata ternak disini menunjukkan kondisi masyarakat yang banyak bekerja sebagai peternak atau penggembala.

2.4 Anti-bahasa dan Anti-masyarakat

Sistem kerja hubungan antara bahasa dan masyarakat juga berlaku bagi anti-bahasa dan anti-masyarakat. Anti-bahasa bukan hanya paralel terhadap anti-masyarakat, tapi juga dibentuk oleh anti-masyarakat. Anti-masyarakat merupakan suatu masyarakat yang muncul atas kesadaran bermasyarakat sebagai bentuk alternatif dari masyarakat lazim atau mainstream (Halliday, 1993: 164). Dengan begitu, anti-bahasa merupakan bahasa yang muncul dalam dan oleh anti-masyarakat sebagai bahasa alternatif dari bahasa lazim atau mainstream.

Secara prinsip, anti-bahasa memiliki grammar yang sama dengan bahasa, namun berbeda dalam perbendaharaan kata; perbedaan dalam perbendaharaan kata ini tidak secara keseluruhan melainkan hanya pada hal-hal tertentu yang merupakan pusat aktivitas (karakteristik) subkultur. Bentuk paling sederhana dari anti-bahasa yaitu kata-kata baru untuk menggantikan kata-kata lama. Contoh dari anti-bahasa yaitu bahasa kaum gay dan banci yang paralel dengan kehadiran mereka sebagai anti-masyarakat.

Anti-bahasa seringkali dibuat untuk melakukan komunikasi tertutup demi menjaga kerahasiaan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa anti-bahasa awalnya dibuat untuk kontes atau pameran dengan tujuan menunjukkan bahwa kami adalah berbeda. Kehadiran anti-bahasa dan anti-masyarakat ini dapat dijelaskan menggunakan istilah second life (kehidupan kedua) oleh Podgŏrecki. Second life merupakan hasil dari kondisi yang terisolasi, atau hasil dari kebutuhan untuk menertibkan tingkah laku seksual serta menolaknya sebagai sesuatu yang tidak pantas. Ia menyebutkan second life muncul dari kebutuhan untuk menjaga solidaritas di bawah tekanan, dan itu diraih melalui akumulasi hukuman dan hadiah. Menurut Podgŏrecki (dalam Halliday, 1993: 168), second life adalah rekonstruksi dari individu dan masyarakat yang memiliki struktur sosial alternatif, bersama sistem nilainya, sanksi, hadiah dan hukuman. Second life kemudian mejadi sumber identitas alternatif bagi anggota-anggotanya, melalui pola-pola penerimaan dan gratifikasinya. Dengan kata lain, second life adalah realitas alternatif, dan realitas tersebut adalah realitas yang counter-realitas.

 

BAB III
PENUTUP

Bahasa, sebagai sistem simbol yang digunakan oleh komunikator untuk mengkonstruk dan mentransfer informasi, dapat dipandang sebagai institusi dan sebagai sistem. Bahasa sebagai institusi merujuk pada bahasa memiliki variasi atau ragam bahasa yang saling berbeda, baik dalam pelafalan, bentuk grammar, maupun makna. Sedangkan bahasa sebagai sistem – atau disebut pula sistem linguistik – menunjukkan bahwa variasi atau ragam dalam bahasa memiliki fungsi secara sosial. Sistem linguistik ini menunjukkan hubungan antara konteks sosial dengan teks.

Dalam kaitannya dengan struktur sosial, penjelasan mengenai bahasa dapat ditilik melalui pendekatan determinisme linguistik. Determinisme linguistik merupakan asumsi yang menyebutkan bahwa bahasa yang seseorang pelajari dan kuasai (melalui struktur bahasa tersebut) akan membentuk kecenderungan orang tersebut dalam memandang dan memahami dunia. Teori determinisme linguistik ini menunjukkan hubungan antara bahasa dengan budaya, yaitu bahwa bahasa merupakan kendaraan utama dalam mempelajari budaya. Dengan kata lain, pandangan seseorang terhadap realitas sosial dikonstruksi oleh bahasa. Melalui ragam dialek, seseorang belajar manafsirkan pola hirarki sosial dalam masyarakat. Sedangkan melalui ragam register, seseorang mendapat wawasan mengenai struktur pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa mempengaruhi bahkan membentuk struktur sosial. Membentuk struktur sosial dalam hal ini adalah bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh seseorang akan menempatkan ia pada suatu struktur tertentu dalam masyarakat, yaitu sebagai bagian dari suatu kelompok tertentu.

Dalam penggunaan bahasa gaul, ketika seseorang menggunakan bahasa gaul maka ia akan terstruktur menjadi bagian dari kelompok AGJ yang berbeda dengan kelompok remaja lainnya. Dikatakan berbeda dengan kelompok remaja lainnya karena tidak semua orang memahami setiap kosa kata yang dipakai dalam bahasa gaul AGJ, sehingga bagi mereka yang tidak mengerti bahasa tersebut, akan digolongkan sebagai kelompok di luar kelompok AGJ. Pembedaan ini terjadi akibat ketidakpahaman akan bahasa gaul dan ketidakpahaman ini terjadi karena fungsi komunikatif bahasa gaul hanya akan berlaku bagi masyarakat tutur bahasa gaul yaitu pada kelompok AGJ saja. Sistem kerja hubungan antara bahasa dan masyarakat semacam ini juga berlaku bagi anti-bahasa dan anti-masyarakat. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R. (1996). Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa. In Y. Latif, & I. S. Ibrahim (Eds.), Bahasa dan Kekuasaan (p. 265). Bandung: Mizan.
Chaer, A., & Agustina, L. (2010). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dictionary of Media Studies. (2006). London: A & C Black.
Findlay, M. S. (1998). Language and Communication. Santa Barbara, Californa: ABC CLIO.
Halliday, M. (1993). Language as Sosial Semiotic. London: Edward Arnold.
Oetomo, D. (1996). Bahasa Indonesia dan Kelas Menengah Indonesia. In Y. Latif, & I. S. Ibrahim (Eds.), Bahasa dan Kekuasaan (p. 195). Bandung: Mizan.
Purwoko, H. (2004). Rekayasa Bahasa dan Sastra Nasional. Semarang: Masscom Media.
Wijana, I. D. (2010). Bahasa Gaul Remaja Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Yusuf, N. H. (2001). Sejarah Strukturalisme. In R. Hidayat, & I. S. Husen (Eds.), Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya (p. 394). Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Blogger Indonesia | Bloggerized by Pratama