Jumat, 24 Januari 2014

Menulis kreatif - Yudhistira, Sides Sudyarto, dan Remy Silado : Puisi Lugu

Menulis kreatif - Yudhistira, Sides Sudyarto, dan Remy Silado : Puisi Lugu

3. Yudhistira, Sides Sudyarto, dan Remy Silado : Puisi Lugu

Pada periode terakhir puisi Indonesia terdapat kecenderungan menciptakan puisi lugu, yakni puisi yang menggunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-kata serebral, dan kalimat-kalimat yang biasa atau polos. Sifat lugu ini juga dapat ditandai dengan tidak dipakainya majas secara baik seperti dalam puisi-puisi biasa. Contoh yang menarik kiranya dapat dihayati dalam sajak Arifin C. Noer yang berjudul “Karena Jajang” berikut ini :

Tuhan/ saya minta duit/ buat beli sugus/ karena jajang/ lagi doyan sugus.

(“Karena Jajang”)

Tuhan/ saya tidak percaya/ jajang ada di selayo/ sebab saya pernah tahu/ jajang ada di mana/ buktinya di kamar ini saja/ jajang selalu sembunyi/ dan saya tidak selalu berhasil/ menemuinya.

Sok dia ! tuhan.

(Sok Dia !)

Meskipun penyair sebenarnya dapat mengkonsentrasikan pikirannya ke dalam bahasa lebih intens, namun karena model puisinya memang mengharuskan bahasanya lugas, maka begitulah yang terjadi pada puisi “Sajak Ingat pada Ibu” karya Yudhistiraini :

Padahal dulu tak pernah terpikir/ bahwa semua akan dialami.

Lalu sekarang, sesudah merasa dewasa/ semua seperti membebani/ juga perasaan ingin berbakti itu.

Mungkin akan tiba saatnya/ seorang anak, menangis di negeri orang/ lantas ingin pulang, tapi tak punya harapan.

Dan akhirnya hanya doa/semoga ibu tak lekas mati/ supaya anaknya sempat kembali/ dan bercerita tentang hidup senang serta kecukupan/ seperti dalam dongeng-dongeng.

(1975)

Gaya puisi lugu juga dapat kita lihat pada sajak-sajak Sides Sudyarto. Permainan bunyi tidak sepekat karya-karya Sutardji Karena penyair ingin kesan yang tidak terlalu mendalam. Di dalam puisinya terdapat main-main. Sebagai contoh, sajaknya yang berjudul”Girisa” berikut ini :

Ya maraja jaramaya

Ya marani niramaya

Ya silapa palasiya

Ya mirodo rodomiyaa

Ya midosa sadomiya

Ya dayuda dayudaya

Ya siyasa cayasia

Ya sihama mahasiya

Sajak ini diciptakan dengan berlandaskan tembang jawa yang bernama Girisa, yakni sebuah tembang “Gedhe” sebagai salah satu jenis tembang di samping tembang mocopat dan tembang tengahan.

Demikianlah beberapa kecenderungan dalam puisi Indonesia mutakhir. Kecenderungan itu bersifat umum : Dami N. Toda menyebutkan adanya kecenderungan menciptakan puisi suasana pada para penyair periode 70-an (dalam buku ini dimasukkan puisi mutakhir).

lincah, dan meloncat-loncat dengan manisnya. Hal itu dapat kita lihat pada Eka Budiyanto, F. Rahardi, dan Hamid Djabar. Sebagai contoh dapat dihayati salah satu sajak Eka Budiyanta Berikut ini :

Maka iapun berjalan, berlayar,/ Membaca kepalanya yang kecil ke lautan/ Di sana sudah menunggu/ Berbagai duka dan kegembiraan.

Orang kecil, berabad-abad tetap kecil menunggu, menderita dan mengail/ Kalau ia terluka ditatapnya pasir/ Atau berbagai rasi bintang yang terpencil.

Di langit, di pantai orang-orang kecil/ Meletakkan hati-hati kecil/ Mereka tak suka kenangan/ Dan tak banyak angan-angan.

Hari ini adalah hari bagi orang keci/ Meresapi embun menunggu fajar/ Bersama matanya yang kecil, tangannya yang kecil/ Mulutnya yang kecil dan kepalanya yang kecil.

(“Tembang Nelayan”, dalam Sejuta Milyar Satu, 1985)

Dari contoh-contoh di depan sudah dapat kita hayati juga puisi-puisi Rahardi yang menunjukan kelincahan imajinasinya dan kecerdasan gambaran-gambarannya. Penyair muda tidak sekedar membebek para pendahulunya. Mereka memberi warna tersendiri bagi Indonesia.

Demikianlah uraian sederhana tentang kecenderungan mutakhir puisi Indonesia.

SELESAI

Sebelumnya : Menulis kreatif - Soempah WTS dan Catatan Harian Sang Koruptor

Kembali ke Awal : Menulis kreatif - Nada dan Perasaan 

Refrensi : Buku Menulis kreatif

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Blogger Indonesia | Bloggerized by Pratama