Jumat, 24 Januari 2014

Menulis kreatif - Struktur Bahasa Puisi

Menulis kreatif - Struktur Bahasa Puisi

2. Struktur Bahasa Puisi

Struktur kebahasaan yang dipilih penyair dalam puisinya adalah yang mewakili sifat puisinya : pamflet puisi dengan perasaan tidak puas dan nada menghasut. Pilihan kata, pengimajian, kata konkret, majas, dan versifikasinya dipilih yang mengandung tema, nada, dan perasaan yang di kemukakan penyair. Diksi kata-katanya tidak lagi lembut dan romantik seperti dalam BOT ataupun 4KS. Namun adalah diksi yang dikembangkan dari UB.

Mengenai bahasa yang dipilih penyair dalam pamfletnya, A. Teeuw menyatakan demikian :

Puisi ini khas retorik lirik. Rendra telah berpamit dengan kata-kata sastra yang indah, demi keindahan kata itu sendiri, seperti yang telah lama mendominasi puisi indonesia; dia tidak pernah mau tahu dengan realisme sosial seperti yang dianjurkan oleh LEKRA, diapun tidak hanyut dalam berbagai eksperimen yang simbolis, imajis atau surealis seperti kebanyakan rekan-rekan mudanya sejaman di Indonesia. Dia tidak menulis untuk dibaca tetapi untuk didengar; dia tidak menghidangkan teka-teki tetapi untuk dimengerti. Dalam sajak-sajaknya berdominasi jargon koran masa kini: pengertian-pengertian abstrak istilah-istilah birokratis, yang begitu mewarnai bahasa resmi indonesia yang dipakai juga dalam kumpulan sajak ini dengan senang hati.

Sajak-sajak seperti “koran” namun efek yang demikian memang dipilahnya, yang memperkuat imaji visioner atau gugatan profesinya. Masih terdapat juga bait yang melambangkan isi lugas sajak-sajak melalui bunyi-bunyi atau simbalik.

( PPDP: 19-20)

Bagaimanapun penyair berusaha untuk beerbahasa koran, namun kemahiran memadukan lambang, kiasan, dan bunyi tidak dapat disembunyikan oleh Rendra. Meskipun puisi-puisi Rendra dalam PPDP adalah puisi pamflet, namun tidak kehilangan kepuitisan rima, ritma, dan majas; sekalipun rima, ritma dan majas yang disusunnya tidak seindah puisi-puisinya yang dahulu. Tanpa rima, ritma, dan majas yang bagus puisi Rendra tidak akan mampu menjadi puisi oral dan puisi audtorium.

Pemilihan kata-kata, ungkapan dan kelompok kata yang diciptakan Rendra adalah khas puisi protes. Namun demikian banyak kita jumpai diksi yang khas yang menunjukan kreativitas penyair. Mungkin banyak kata-kata yang terlalu kasar untuk sebuah puisi. Namun sejak BUB, Rendra terbiasa menciptakandiksinya sendiri untuk puisi-puisi protes. Ia tidak mengenal tabu bahasa. Maka lahirlah diksi sebagai berikut : kasak-kusuk, pengiya-an, kebon binatang, monopoli kekuasaan, isyarat asap kaum Indian, kegamangan, kecurigaan ( dalam ”Aku Tulis Pamflet Ini” ): lisong, cukong, mengangkang berak diatas kepala mereka deodorant wanita bunting, diupgrade, penyair salon, rumus-rumus asing, neon ( dalam “Sajak Sebatang Lisong” ); mengobel, kuku garuda, sepeda motor, pil penenang, atap yang bocor, tete, daftar logaritma, lobbying ( dalam “Sajak SLA” ) bir, metro politan, babrik, blingsatan, komunisme, kapitalisme, ( dalam “Sajak Sebotol Bir” ); nyamperin, bego, terkesima, ma ( dalam “Pamflet Cinta” ), dan sebagainya.

Seperti dikemukakan didepan bahwa puisi-puisi Rendra adalah puisi oral yakni puisi yang cocok di baca keras di depan publik. Puisi-puisi demikian pastilah mempunyai unsur bunyi dan metrum yang padu. Ulangan-ulangan baris atau frasa banyak diciptakan di samping untuk kepentingan rima juga kepentingan ritma dan metrum.

Ia memandang jagung itu

Ia melihat dirinya terlunta-lunta

Ia melihat dirinya ditendang di discotique

Ia melihat sepasang sepatu kenes dibalik etalage

Ia melihat saingannya naik sepeda motor

Ia melihat nomor-nomor lotre

Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal

( PPDP : 43 )

Dalam “Sajak Potret Keluarga” pengulangan itu tidak langsung setiap baris, namun merupakan ulangan terhadap kalimat “ Tangal lima belas tahun rembulan” yang mengikat beberapa baris (atau bahkan beberapa bait)  puisinya. Kalimat tersebut menciptakan irama yang padu.

Dalam “ Sajak Ibunda” kalimat ikatan itu juga diulang-ulang namun ada perubahan sedikit. Pada baris pertama kalimatnya berbunyi / mengenang ibu/, pada baris 12 (ikatan kedua) kalimatnya berbunyi /mengingat ibu/; pada selanjutnya penyair langsung mengatakan keadaan ibunya dengan kalimat /Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya/ dan / ibu, kini aku makin mengerti nilamu/. Kalimat-kalimat sekitar ibunya itu dipandang sebagai pengikat ritma puisi. Dalam sajak ini terdapat juga frasa yang menutup bait terakhir.

Kamu adalah Indonesia Raya

Kamu adalah hujan yang kulihat di desa

Kamu adlah hutan di sekitar telaga

Kamu adalah teratai kedamaian semadhi

Kamu adalah kidung rakyat jelata

Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

(PPDP: 61)

Siapa ibu dalam sajak ini ? Dia adalah orang yang disayangi dan dicintai oleh sang penyair. Oleh karena itu, cukup beralasanlah kiranya, jika penyair memuja sang ibu dengan pujaan semacam litani seperti bait terakhir di atas.

Gaya bahasa hiperbola dan pleonasme banyak kita jumpai karena dipergunakan oleh penyair untuk memperkuat sinisme dan kritik sosialnya. Terlebih dalam puisi pamplet mereka yang dikritik akan mendapatkan kedudukan yang sangat terpojok, karena penyair perlu mempergunakan gaya bahasa hiperbola dan pleonasme.

Dan papa semua senang/ Dipegang-pegang tangan ibu guru/ Dimasukkan uang kedalam genggaman/ serta sambil lalu/ di dalam suasana peersahabatan/ teteknya disinggung dengan siku.

(“ Sajak SLA”. PPDP: 38 )

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum / dianggap sebagai bendera upacara/ sementara hukum dikhianati berulang kali/ Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi/ dianggap bunga plastik/ sementara ada kebangkrutan karena banyak korupsi.

(“Sajak Anak Muda”, PPDP:36 )

Aku melihat sarjana-sarjana menganggur/ berpeluh di jalan raya/ aku melihat wanita bunting/ antri uang pensiunan.

(“ Sajak Sebatang Lisong”, PPDP : 30 )

Para tani-buruh bekerja/ berumah digubuk tanpa jendela/ menanam bibit di tanah yang subur/ memanen hasil yang berlimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.

Gaya bahasa atau kiasan yang diciptakan sangat kaya dan bervariasi. Hal ini merupakan salah satu kecakapan Rendra yang mengagumkan. Lambang-lambang juga banyak diciptakan oleh penyair sehingga sekalipun puisinya adalah puisi pamplet, namun tidak terlalu kering dan kasar karena masih terdapat majas di dalamnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa majas kadang-kadang memperkeras nilai kritiknya (tentu saja jika pembaca mampu memahami makna lambang yang diciptakan penyair).

Banyak judul-judul puisinya yang menunjukan lambang dan hanya dapat diketahui jika kita memahami makna lambangnya itu. Judul-judul puisi yang merupakan lambang adalah : sebatang lisong, seonggok jagung, burung-burung kondor, sebotol bir, pulau bali, mata-mata, bulan purnama, matahari, peperangan Abimanyu, dan orang tua di bawah pohon. Lambang-lambang itu tidak terlalu sukar diuraikan maknanya.

Bahasa figuratif dalam puisi pamplet ini barang tentu tidak sepekat puisi-puisi Rendra terdahulu. Namun kehadirannya dapat dimaklumi karena wahana bahasa yang digunakan dalam puisi ini adalah digunakan untuk membawakan pamplet penyair, protes penyair, yang kadang-kadang pedas dan kasar. Dalam suasana demikian tidak mungkin digunakan bahasa figuratif yang menciptakan suasana yang romantik.

Pengimajian dan kata konkret berhasil diciptakan oleh Rendra dan memperkuat argumentasi untuk membenarkan protes sosialnya. Ia tidak hanya membeberkan adanya dekadensi moral, ketidakrelevan pendidikan,ketidakadilan, kepincangan ekonomi dan politik, dan dekadensi lain, namun ia memperkuatnya dengan data-data yang menciptakan kata-kata konkret.

Faktor rima dapat kita bacakan secara keras dan rima yang dihasilkan melalui puisi-puisi Rendra kali ini meskipun tidak sepadu balada-baladanya namun masih tetap merupakan hiasan yang merdu untuk puisi-puisinya. Puisi oral tidak mungkin menarik jika tidak didukung dengan rima. Kebetulan dalam soal menciptakan rima yang padu, Rendra memiliki ketrampilan yang luar biasa.

3. Penutup Ulasan

Demikian ulasan puisi-puisi Rendra dalam Potret pembangunan dalam puisi. Ulasan itu tentu saja tidak bersifat mendetil seperti ulasan terhadap puisi lepas. Kecendrungan yang sifatnya umum untuk puisi-puisi itu dibicarakan secra bersama-sama. Demikian juga tema dan alamatnya. Dalam puisi-puisi Rendra ini, faktor struktur fisik puisi mampu mendukung tema, perasaan, nada, dan amanat yang hendak disampaikan.

Mengapa bahasa puisi dalam PPDP tidak lembut dan halus seperti dalam BOT? Jawabanya adalah, karena puisi-puisi ini adalah puisi pamplet. Penyair sebagai aku lirik bukannya mengungkapkan cintanya, rindunya, kekagumannya kepada alam, atau cerita tentang orang tersisih; penyair mengungkapkan protesnya kepada pihak yang diperkirakan menyebabkan penderitaan, kesengsaraan, kemerosotan moral, dan kepada mereka yang bertanggung jawab dalam dunia pendidikan, ia menyuarakan “ jerit hewan yang terluka “. Tidak tepat jika puisi yang menyuarakan protes yang semacam itu menggunakan bahasa yang bersifat romantik.

Tema yang dikemukakan penyair sering kali bersifat kontroversial. Hal ini disebabkan sang penyair mengemban tugasnya sebagai saksi sejarah. Ia tidak melihat sisi lain mengapa penderitaan timbul, namun ia hanya memprotes penderitaan itu sambil mempersalahkan mereka yang diperkirakan menjadi biang keladinya. Dalam sang penyair murni sebagai penyair yang mencoba menyuarakan nurani “orang-orang tercinta”. Ia tidak mencoba merefleksi diri sebagai cendekiawan dan pemimpin masyarakat yang arif yang mencoba memahami bahwa dalam proses awal suatu modernisasi dan industrialisasi, kepincngan-kepincangan itu secara wajar sering terjadi. Noda-noda selalu ada, karena moderenisasi dan industrialisasi dalam proses. Di dalam proses awal itu, tidak mungkin kita menuntut hasil seperti negeri-negeri maju yang sudah mapan.

Puisi-puisi ini hanya dapat diapresiasi dan dipahami dalam konteks “jerit hewan yang terluka” sebagai kelanjutan dari pembelaan penyair terhadap “ orang-orang tercinta”. Betapapun ingin bersifat obyektif, orang pasti akan memihak secara fanatik “orang-orang yang dicintai”. Kadang-kadang pembelaan itu disertai memicingkan mata terhadap orang-orang lain. Rendra sebagai penyair cintawan “hewan terluka yang menjerit” karena cintanya yang sangat mendalam sering hilang kedewasaanya sehingga memincingkan mata sebelah terhadap pihak di balik “hewan terluka yang menjerit” itu.

Refrensi : Buku Menulis kreatif

0 komentar :

Posting Komentar

 
Design by Blogger Indonesia | Bloggerized by Pratama